Dihina Karena Miskin, Kini Dihormati Karena Sukses

Namaku Raka. Aku bukan siapa-siapa. Hanya anak biasa dari keluarga sederhana di pinggiran kota. Ayahku sopir angkot, ibuku jual gorengan di depan rumah. Hidup kami tak pernah mudah, tapi kami selalu bersama. Sampai satu hari… segalanya berubah.

Waktu itu aku kelas 11 SMA. Nilai-nilaiku bagus, aku selalu masuk 3 besar. Cita-citaku simpel: masuk universitas negeri, angkat derajat keluarga. Tapi sayangnya, hidup tidak sesimpel itu.mg 4d

Suatu malam, setelah aku pulang les, kulihat ayah duduk di depan rumah, wajahnya muram, tangan menutup wajah. Ibuku berdiri tak jauh darinya, menatap kosong ke jalan.

“Ayah dipecat,” kata ibu dengan suara yang hampir tak terdengar.

Duniaku runtuh dalam sekejap.

Hari-Hari Kelam

Sejak saat itu, hidup kami berubah drastis. Tak ada lagi uang bensin untuk angkot. Tak ada lagi uang jajan. Bahkan untuk makan pun kami harus menunggu hasil gorengan ibu yang semakin sepi pembeli.

Aku ingat satu malam, aku pura-pura tidur agar tak perlu makan malam. Perutku berontak, tapi hatiku lebih perih melihat ibu memaksakan senyum padaku.

Tapi semua itu belum seberapa dibandingkan apa yang terjadi setelahnya.

Dia Datang Membawa Cahay

Namanya Vira. Anak baru di kelas. Cantik, pintar, dan… perhatian. Entah kenapa dia tertarik padaku. Mungkin karena aku satu-satunya yang nggak ngejar-ngejar dia.

Awalnya aku jaga jarak. Tapi dia terus datang, ngajak ngobrol, bawa bekal lebih buat dibagi dua, dan bahkan rela bantuin aku belajar waktu aku hampir nyerah dengan soal matematika.

Untuk pertama kalinya setelah lama, aku merasa… bahagia. Ada seseorang yang benar-benar peduli, bukan karena kasihan, tapi karena tulus.

Janji dan Harapan

Suatu sore, kami duduk di taman sekolah.

“Rak,” katanya pelan, “kalau suatu hari kamu sukses… kamu masih inget aku, kan?”

Aku tertawa. “Gila kamu. Aku nggak bakal lupa sama kamu. Kamu cahaya di tengah gelapku.”

Dia senyum. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa semua penderitaan ini akan berbuah manis. Aku punya semangat lagi. Aku mulai belajar lebih giat, ikut lomba beasiswa, bahkan mulai bantu ibu jualan di akhir pekan.

Tapi ternyata, hidup belum selesai mengujiku.

Kenyataan yang Menampar

Satu hari, aku datang lebih pagi ke sekolah. Di gerbang, aku lihat Vira. Tapi dia tidak sendiri. Dia berdiri dengan seorang pria… tinggi, pakai mobil mewah. Mereka berpelukan. Lalu… berciuman.

Hatiku hancur.

Tak bisa kupercaya mataku. Tapi itu nyata. Dan saat aku tanya ke teman-temannya, mereka bilang:

“Lah, kamu baru tau? Itu pacar lamanya. Dia dari dulu emang udah jadian sama anak pejabat itu. Cuma iseng aja sama kamu, Rak.”

Dadaku sesak. Rasanya lebih parah dari kelaparan. Bukan karena aku ditinggalkan. Tapi karena aku percaya.

Ditinggalkan Saat Terjatuh

Setelah kejadian itu, aku berubah. Aku jadi pendiam. Nilai-nilaiku turun. Aku mulai bolos. Bahkan aku sempat berpikir untuk berhenti sekolah. Buat apa? Dunia terlalu kejam untuk orang sepertiku.

Tapi di tengah keputusasaan itu, aku dengar ibu batuk di dapur. Batuknya kering, panjang, dan menyesakkan. Aku intip… dia sedang duduk lemas, memandangi satu-satunya roti yang tersisa.

Hatiku teriris. Aku lupa… aku bukan satu-satunya yang sedang terluka.

Bangkit dari Luka

Hari itu aku putuskan: cukup.

Aku tak akan biarkan satu pengkhianatan merusak masa depanku. Aku mulai bangun jam 4 pagi bantu ibu. Jam 6 berangkat sekolah. Selesai sekolah aku belajar, lalu malam bantu ayah ojek online pakai HP jadul kami.

Aku ikut lomba essay, lomba sains, apapun. Aku gagal berkali-kali. Tapi aku terus coba.

Sampai akhirnya, datang surat dari Jakarta.

Surat Itu Mengubah Hidupku

Aku lolos beasiswa ke universitas terbaik negeri ini. Semua biaya ditanggung. Bahkan dapat uang saku tiap bulan.

Aku menangis saat membacanya. Ibu peluk aku sambil terisak. Ayah diam lama, lalu sujud syukur di ruang tamu.

Aku pergi ke Jakarta dengan satu ransel. Tapi penuh harapan.

Pertemuan Tak Terduga

Dua tahun berlalu. Aku sudah semester lima. Aktif di organisasi, magang di perusahaan besar, bahkan tulisanku dimuat di media nasional. Suatu hari, aku dapat undangan alumni SMA. Iseng, aku datang.

Dan di sanalah aku melihatnya lagi. Vira.

Dia terlihat cantik seperti dulu, tapi ada kelelahan di wajahnya. Kami bicara sebentar. Basa-basi. Lalu dia tanya:

“Kamu masih marah?”

Aku tersenyum. “Nggak. Terima kasih, Vir. Kalau bukan karena kamu pergi… aku mungkin nggak akan jadi seperti sekarang.”

Dia terdiam. Matanya berkaca-kaca. Tapi aku hanya pamit, lalu pergi.

Akhir yang Baru

Kini aku lulus. Diterima kerja di luar negeri. Hidupku tak sempurna, tapi aku bahagia. Ayah ibu tak perlu kerja keras lagi. Rumah kami direnovasi. Dan aku? Aku tetap Raka yang dulu… hanya saja dengan luka yang sudah berubah jadi kekuatan.

Kadang aku masih ingat malam-malam aku menangis dalam diam, atau saat aku pura-pura kuat padahal nyaris menyerah. Tapi semua itu… adalah bagian dari perjalananku.

Aku pernah ditinggalkan saat aku paling rapuh. Tapi itu bukan akhir. Itu adalah awal dari kebangkitan.

Karena dalam luka terdalam… kekuatan terbesar sedang menunggu lahir.

Kalau kamu suka cerita kayak gini, aku bisa bikinin lagi—versi kisah cinta, perjuangan keluarga, atau mimpi besar yang dikubur orang-orang. Tinggal bilang aja!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *